A. Pengajaran Ilmu Warits
1. Pengertian, Tujuan dan Hukum
mempelajari Ilmu Warits
Ketika seseorang meninggal dunia,
maka harta pusaka yang ditinggalkannya benama waris yang mesti dibagikan kepada
para ahli warisnya sesuai dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan melalui
wahyu-Nya. Menurut bahasa waris berarti harta pusaka. Sedangkan menurut istilah
waris yaitu pindahnya hak milik seseorang kepada orang lain atau dari kaum
kepada kaum yang lain.295
As-Sayyid Sabiq dalam Fikih Islam
menyebutkan bahwa faraidh adalah jamak dari faridhah; faridhah diambil dari
kata fardh yang artinya taqdir
(ketentuan). Fardh dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan
bagi ahli waris. Ilmu mengenai hal itu dinamakan ilmu waris (‘ilmu miiraats
‘ilmu faraidh) “.296
Mawarits jama dari mirats, (irts, wiratsah,
dan turats, yang dimaknakan dengan mauruts) adalah “harta peninggalan orang
yang meninggal yang diwariskan kepada para warisnya”. Orang yang meninggal
harta disebut muwarits. Sedang yang berhak menerima pusaka disebut warits.
Sedangkan Faraidh, jamak dari faridhah. Kata ini diambil dari fardhu. Fardhu
dalam istilah ulama fiqh Mawaris ialah bagian yang telah ditetapkan oleh
syara’. Untuk waris seperti nishfu (1/2), rubu’(1/4).297
M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata
mafruudhan ( مفروضا ) terambil dari kata faradha ( فرض) yang
berarti wajib. Kata faradha adalah kewajiban yang bersumber dari yang tinggi
kedudukannya, dalam konteks ayat ini adalah Allah Swt. Sedang, kata wajib tidak
harus bersumber dari yang tinggi karena bisa saja seseorang mewajibkan sesuatu
atas dirinya. Dengan demikian, hak warisan yang ditentukan itu bersumber dari
Allah Swt. Dan jika demikian tidak ada alasan untuk menolak atau mengubahnya. 298
----------
295Loc.Cit
296Loc.Cit
297T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit,
hlm. 5
298M. Quraish Shihab,Tafsir al
Mishbah Volume 2, (Jakarta : Lentera Hati,2010), cet.ke 3,hlm.424
96
Ahli ushul mendefinisikan pengertian
wajib sebagai berikut :
الواجب هو الفعل المطلوب على وجه اللزوم بحيث يثاب فاعله
ويعلقب تاركه
Artinya : “ Wajib adalah sesuatu
perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang
diberi ganjaran dengan pahala yang melakukannya karena perbuatannya itu telah
sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa orang yang
meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut”.299
Amir Syarifuddin mengutip pendapat al-Mahally
menyebutkan bahwa “Lafazh Faraid
merupakan jama’ (bentuk plular) dari lafazh faridhah yang mengandung arti
mafrudhah, yang sama artinya dengan muqaddarah yaitu : suatu yang ditetapkan
bagiannya secara jelas. Adapun
penggunaan kata Mawarits lebih melihat kepada yang menjadi objek dari hukum ini
yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata
mawarits merupakan bentuk plular dari kata mirats yang berarti mauruts; harta
yang diwaritsi. Dengan demikian arti kata warits yang dipergunakan dalam
beberapa kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu; karena
kata warits artinya orang pewaris.300
Tarikah atau tirkah, dalam pengertian
bahasa, searti dengan mirats atau harta yang ditinggalkan. Karenanya, harta
yang ditinggalkan oleh seseorang pemilik harta, untuk ahli warisnya, dinamakan
tarikah si mati (tarikatul maiyiti). Secara istilah tarikah menurut para Fuqaha
berbeda pendapat, “Jumhur fuqaha berpendapat bahwa, tarikah itu ialah apa yang
ditinggalkan oleh seseorang sesudah dia meninggal, baik merupakan harta, maupun
merupakan hak yang bersifat harta atau hak yang lebih kuat unsur harta terhadap
hak perorangan, tanpa melihat siapa yang berhak menerimanya.301
------------
299Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 288
300Amir Syarifuddn, Op.Cit, hlm.
5-6
301T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit,
hlm. 8
97
Dalam literatur hukum di Indonesia,
digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab,
yaitu : waris, warisan, pusaka, dan hukum kewarisan. Yang menggunakan nama
hokum waris, memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu
yang menjadi subjek dari hokum ini. Sedangkan yang menggunakan nama warisan
memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum itu. Untuk maksud
terakhir ini ada yang memberi nama dengan ‘Pusaka’ yaitu nama lain dari harta yang
dijadikan objek dari warisan, terutama yang berlaku di lingkungan adat
Minagkabau. Adapun yang dimaksud dengan hukum Kewarisan Islam itu adalah
“Seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang
hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang
masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang
beragama Islam. 302
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
mengatakan bahwa ilmu faraaidh adalah Ïlmu tentang bagaimana cara membagi harta
warisan secara fiqh dan hitungan “.303
Adapun menurut para fuqaha menta’rifkan
ilmu waris dengan :
علم يعرف به من يرث ومن لا يرث ومقدار كل وارث وكيفية
التوزيع
Artinya
: Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak
dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara
pembagiannya.304
------------
302Ibid, hlm. 6
303Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,Panduan Praktis Hukum Warits, Terj.Abu Ihsan al-Atsari,
(Jakarta : Pustaka Ibnu Katsir,2010), cet.
ke 4, hlm. 15
304T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 5
98
Atau dengan ibarat yang lain :
قواعد من الفقه والحساب يعرف بها ما يخص كل ذى حق فى
التركة ونصيب كل وارث منها
Artinya : “Beberapa kaidah yang terpetik
dari fiqh dan hisab, untuk dapat mengetahui apa yang secara khusus mengenai
segala yang mempunyai hak terhadap peninggalan si mati, dan bagian
masing-masing waris dari harta peninggalan tersebut.305
Rasulullah saw. bersabda :
تعلموا الفرائض وعلموها فانها نصف العلم وهو ينسى وهو اول
شيئ ينزع من امتى.
رواه ابن ماجه و الدارقطنى
Artinya : “ Dari Abu Hurairoh bahwa Nabi
saw. bersabda : “ Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena
faraidh adalah separoh dari ilmu dan akan dilupakan. Faraidhlah
ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku “. HR Ibnu Majah dan ad- Daruquthni.
306
Ibnu Uyainah mengatakan, sebenarnya ilmu
faraid itu dinamakan separo ilmu, karena dengan ilmu ini semua manusia mendapat
cobaan.307
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan
bahwa kedudukan ilmu waris yaitu ilmu ini dipandang separoh ilmu syariah,
karena kalau bidang-bidang yang lain dari ilmu syariah berpautan dengan keadaan
manusia sebelum dia meninggal,maka ilmu ini berpautan dengan keadaan keadaan
mereka sesudah wafat. 308
------------
305Ibid, hlm. 5-6
306Op.Cit, hlm.
307Al-Imam
Abul Fida Ismail Ibn Katsir A., Tafsir
Ibn Katsir Juz 4, Terj. Bahrun Abu Bakar,
(Bandung : Sinar Baru Algesindo,2008),
cet. ke 4, hlm. 478
308T.M.
Hasbi ash-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 8
99
Adapun tujuan mempelajari Ilmu Mawaris
ialah mengetahui cara bagaimana kita menyampaikan atau meneruskan
tarikah-tarikah (jamaknya tarikat) orang yang telah meninggal kepada
orang-orang yang berhak menerimanya.309
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
menyebutkan bahwa “tujuan mempelajari ilmu faraaidh adalah Menyampaikan harta
tersebut kepada setiap orang yang berhak mendapatkannya. 310
Hukum mempelajari ilmu faraa-idh adalah
fardhu kifayah, yaitu apabila sudah ada orang yang cukup untuk melaksanakannya,
maka sunnah hukumnya bagi yang lain.311
Hukum Kewarisan Islam diikuti dan
dijalankan oleh umat Islam seluruh dunia terlepas dari perbedaan bangsa, Negara
maupun latar belakang budayanya. Pada masa sebelum faraid atau Hukum Kewarisan
Islam dilaksanakan, biasanya mereka telah memakai dan melaksanakan aturan
tertentu berkenaan dengan pembagian warisan berdasarkan adat-istiadat yang
menjadi hukum tak tertulis di antara mereka. 312
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa
kebiasaan kaum jahiliyah tidak memberikan harta waris kepada anak wanita dan
anak laki-laki yang belum dewasa. Ketika seorang Anshar yang bernama Aus ibn
Tsabit wafat dan meninggalkan dua orang putri serta seorang anak laki-laki yang
masih kecil, datanglah dua anak pamannya, yaitu Khalid dan ‘Arfathah, yang
menjadi asabat. Mereka mengambil semua harta peninggalannya. Maka datanglah
istri Aus bin Tsabit kepada Rasulullah Saw. untuk menerangkan kejadian itu.
Rasulullah Saw. bersabda : “Saya tidak tahu apa yang harus saya katakana”. Maka
turunlah Q.S. an-Nisa ayat 7 sebagai penjelasan tentang hukum waris dalam
Islam. 313
------------
309Ibid
310Op.Cit, hlm. 15
311Ibid
312Amir Syarifuddin, Op.Cit,
hlm. 35
313Q. Shaleh, Op.Cit,
hlm. 128
100
Allah
Swt. berfirman sebagai berikut :
Artinya : “bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan”. (Q.S. an-Nisa (4) : 7 )314
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa
Rasulullah Saw. disertai Abu Bakr berjalan kaki menengok Jabir bin ‘Abdillah
sewaktu sakit keras di kampong bani Salamah. Ketika didapatkannya tidak
sadarkan diri, beliau minta air untuk berwudhu dan memercikkan air kepadanya,
sehingga sadar. Lalu berkatalah Jabir : “Apa yang tuan perintahkan kepadaku
tentang harta bendaku ?” Maka turunlah Q.S. an-Nisa ayat 11-12 sebagai pedoman
pembagian harta waris. 315
------------
314Op.Cit, hlm. 132
315Q.
Soleh,Azbabun Nuzul
101
Artinya : Allah mensyariatkan
bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh separoh
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika yang
meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya saja, maka
ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah
dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih
dekat manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisa:11)316
------------
316Loc.Cit
102
Artinya : dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun. 317
Sebab-sebab turunnya ayat tersebut di atas
adalah sebagai berikut :
عن جابرقال: جاءت امراة سعدبن الربيع الى رسول الله
صلى الله عليه وسلم بابنتيها من سعيد فقالت
يارسول الله هاتان ابنتا سعدبن الربيع قتل ابوهما
معك فى احد شهيدا وان عمهما اخذ ما لهما فلم
يدع لهما مالا ولا ينكحان الا بمال فقال يقضى الله
فى ذالك فنزلت اية المواريث فارسل رسول الله
صلى الله عليه وسلم الى عمهما فقال اعط ابنتى سعد
الثلثين وامهما الثمن وما بقى فهو لك
رواه الخمسة الا النسائى
Artinya : Dari jabir, dia berkata : Istri
Sa’ad ibnur Rabi’ datang kepada rasulullah saw. dengan membawa kedua anak
perempuannya yang dari Sa’ad, lalu katanya : Wahai Rasulullah, kedua anak
perempuan ini adalah anak Sa’ad ibnur Rabi’, ayah keduanya mati terbunuh
sebagai syahid waktu berperang bersama engkau di Uhud. Dan paman keduanya telah
mengambil harta keduanya, sehingga dia tidak lagi meninggalkan harta bagi
keduanya. Sedang keduanya itu tidak dapat menikah kecuali dengan harta. Maka
kata beliau : “ Allah akan memutusi perkara itu “. Lalu turunlah ayat warisan
ini. Maka Rasulullah saw. pun mengirim utusan kepada paman dari keduanya agar
dia menghadap kepada belliau, lalu kata beliau : “ Berikan kepada kedua anak
perempuan Sa’ad dua pertiga, dan kepada ibu keduanya seperdelapan, dan sisanya
untukmu”. (H.R Lima orang ahli hadits kecuali An-Nasa’i)318
------------
317Loc.Cit
318Loc.Cit
103
2.
Rukun Waris
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
warisan pada harta, bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah dia
mati. Adapun hak-hak, maka ia tidak diwariskan kecuali yang mengkuti harta atau
dalam pengertian harta. Hak-hak
itu adalah sebagai berikut:
a. Biaya mengkafani dan memperlengkapinya.
b. Melunasi hutang-hutangnya.
c. Wasiat dari sepertiga sisa harta
semuanya sesudah hutang dibayar.319
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 175
menyebutkan bahwa :
1). Kewajiban ahli waris terhadap
pewaris adalah :
a. Mengurus dan menyelsaikan sampai
pemekaman jenazah selesai.
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa
pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
c.
Menyelesaikan
wasiat pewaris.
d. Membagi harta warisan di antara ahli
waris yang berhak.
2).
Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas
pada jumlah atau nilai harta
peninggalannya. 320
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 187
Kompilasi Hukum Islam bahwa :
1).
Bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan maka oleh pewaris semasa
hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai
pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas :
a).
Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan baik berupa benda bergerak maupun
tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan,
bila perlu dinilai harganya dengan uang.
b).
Menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan pasal 175
ayat (1) sub a, b, dan c. 321
------------
319Sayyid
Sabiq, Op.Cit, hlm. 41-43
320Op.Cit,
hlm. 58
321Ibid,
hlm. 60
104
Rukun waris itu ada tiga
macam yaitu :
a.
Pewaris
( al-waarits ); ialah orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan
mayit sehingga dia memperoleh warisan.
b. Orang yang mewariskan ( al-muwarrits );
ialah mayit itu sendiri, baik nyata ataupun dinyatakan mati secara hukum.
c.
Harta
yang diwariskan ( al-mauruuts ); disebut pula peninggalan dan warisan, yaitu
harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris. 322
Dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 174 menyebutkan bahwa :
1). Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah :
-
Golongan
laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek.
-
Golongan
perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari
duda dan janda.
2). Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda. 323
Warisan itu diperoleh dengan tiga
sebab yaitu :
a. Nasab hakiki, yaitu kerabat yang
sebenarnya.
b. Nasab hukmi, yaitu wala. Yakni kerabat yang diperoleh karena memerdekakan.
c.
Perkawinan yang shahih.324
Allah SWT berfirman sebagai berikut :
------------
323Loc.Cit
324Op.Cit, hlm. 57-58
325Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm. 47-48
105
Artinya :
dan
orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad
bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang
mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al Anfal : 75)326
Rasulullah Saw. Bersabda sebagai berikut :
انما الولاء لمن اعتق . متفق عليه
Artinya : ” Sesungguhnya hak wala itu untuk orang yang memerdekakan “. HR
Bukhari dan Muslim.327
Allah Swt. berfirman sebagai berikut:
Artinya : ”... Dan bagimu seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu...”.
(Q.S An-Nisa : 12)328
Semua kaum Muslim sepakat bahwa sebab-sebab
waris-mewarisi ada tiga yaitu : rahim (nasab), pernikahan dan perwalian
(wala’). Dan para imam madzhab sepakat bahwa sebab-sebab yang menghalangi
waris-mewarisi yaitu : perbudakan, pembunuhan dan berlainan agama “.329
------------
326Op.Cit, hlm. 325
327Op.Cit, hlm. 349
328Loc.Cit
329Syaikh Muhammad al-Allamah, Fiqh
Empat Madzhab, (Bandung : Hasyimi Press, 2004), hlm. 321
106
Dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 173 menyebutkan bahwa : “Seorang terhalang menjadi
ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, dihukum karena:
a.
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris,
b.
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 330
Golongan ahli waris laki-laki secara
global ada sepuluh dan secara terinci ada lima belas, mereka itu adalah sebagai
berikut :
a. Anak laki-laki , b. Cucu laki-laki dari anak
laki-laki, c. Ayah, d. Kakek shaheh (kakek kandung terus ke atas dari fihak
laki-laki), e. Saudara laki-laki sekandung, f. Saudara laki-laki seayah, g.
Saudara laki-laki seibu, h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, i.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, j. Paman (dari fihak ayah) yang
sekandung dengan ayah, k. Paman (dari fihak ayah) yang seayah dengan ayah, l.
Anak laki-laki dari paman sekandung, m. Anak laki-laki dari paman seayah, n.
Suami orang yang meninggal dunia, o. Majikan yang telah memerdekakannya
(mu’tiq). 331
Adapun golongan ahli waris dari fihak
perempuan secara global ada tujuh dan secara terinci ada sepuluh, mereka adalah
sebagai berikut :
a.
Anak perempuan
b.
Cucu perempuan dari anak laki-laki, terus kebawah asal
yang mempertalikannya laki-laki
c.
Ibu
d.
Nenek shahih terus ke atas (ibunya ibu)
e.
Nenek shahih terus ke atas (ibunya ayah)
f.
Saudara perempuan sekndung
g.
Saudara perempuan seayah
h.
Saudara perempuan seibu
i.
Istri
j.
Mu’tiqah (majikan wanita yang telah memerdekakan
budaknya). 332
--------------
330Kompilasi Hukum Islam, hlm. 57
331Komite
Fakultas Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar