Minggu, 10 April 2011

Tafsir

METODOLOGI PENAFSIRAN AL QURAAN






MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Tafsir
dari Prof.Dr.H.Asep Muhyiddin,M.Ag



Oleh :
AGUS SUBANDI
NIM. 2.210.9.024



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
PROGRAM PASCASARJANA KONSENTRASI PAI-K.A
2010

KATA PENGANTAR


Segala puja dan puji milik Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, para sahabat dan pengikut-pengikutnya yang taat hingga akhir zaman.
Al-hamdulillah, atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Ilmu Tafsir degan Judul “ METODOLOGI PENAFSIRAN AL QURAAN “ dari Prof.Dr.H. Asep Muhyiddin, M.Ag

Penulis menyadari, bahwa dalam membuat Makalah, masih kurang sempurna atau tidak memenuhi tujuan yang diinginkan oleh Dosen Pembimbing atau pembaca lainnya.
Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang membangun, demi tugas-tugas berikutnya dan kesempurnaan didalam membuat Makalah.

Tak lupa, atas bimbingan dan bantuan dari semua fihak, hingga terselesaikannya tugas membuat Makalah Ilmu Tafsir, penulis ucapkan terima kasih. Semoga amal baiknya mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.

Akhirnya hanya kepada Allah, penulis serahkan segala upaya yang telah dilakukan dan tetap memohon petunjuk kejalan yang diridlai-Nya. Amin


Karawang, 9 Nopember 2010
Penulis,


ii

DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
B. Perumusan masalah
BAB II PEMBAHASAN METODOLOGI PENAFSIRAN AL QURAAN
A. Pengertian Tafsir
B. Syarat-syarat mufassir
C. Metode Tafsir Al-Qur’an
BAB III KESIMPULAN
SUMBER BACAAN



iii
METODOLOGI PENAFSIRAN AL QURAAN

A. Pengertian
Tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan dan menerangkan (Yusuf Qardawi, 1999, hal. 283). Mahmud Basuni Faudah mengatakan bahwa tafsir menurut bahasa adalah ‘keterangan (al-idhah), penjelasan (al bayan). Mashadar dari fi’il ‘ fassaro ‘. Tafsir dan Takwil, hal. 1).
Allah berfirman :

Artinya “ tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya “. (Q.S. Al Furqon : 33)
Dalam Kamus Serapan Bahasa Asing Jus Badudu mengatakan bahwa Tafsir adalah keterangan yang berlanjut, yang agak panjang mengenai isi kitab suci; terjemahan yang diikuti dengan komentar panjang lebar, tafsiran, interpretasi (J. Badudu, hlm. 341)
Menurut istilah adalah apa yang dikutip oleh As-Sayuti dari Az-Zarkasyi, ‘ Ia adalah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan merupakan penjelasan makna-makna serta kesimpulan hikmah dan hukum-hukum. (Yusuf Qardawi, 1999, hlm. 284)
Mahmud Faudah mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang menerangkan tentang nuzul (turunnya) ayat-ayat, hal ihwalnya, kisah-kisah, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzulnya, tertib makkiyah dan


1
2
madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihnya; halal dan haramnya; wa’ad dan
wa’idnya, nasikh dan mansukhnya, khas dan ‘aamnya, muthlaq dan muqayyadnya, perintah dan larangannya, ungkapan dan tamtsilnya dan lain sebagainya (Internet, hlm. 1)
Menurut sekelompok ulama, tafsir dan takwil mempunyai makna yang sama. Namun sebagian lain ada yang mengatakan bahwa tafsir lebih umum daripada takwil. Tafsir lebih memperhatikan lafal-lafal, sedangkan takwil lebih memperhatikan makna. Tafsir yang berhubungan dengan riwayat sedangkan takwil kepada dirayah. Tafsir adalah pembicaraan tentang sebab turunnya ayat, kejadian dan kisahnya. Takwil adalah mengalihkan ayat kepada makna yang memungkinkan miliknya dengan melihat ayat sebelumnya dan setelahnya, yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan Sunnah, dengan jalan istinbath, menarik kesimpulan. (Yusuf Qardawi, 1999, hlm.284)
Ayat yang berhubungan dengan takwil terdapat dalam :

Artinya : “Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang
3
dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Q.S. Ali Imran : 7)


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S An-Nisa : 59)

Artinya : “mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan Kami sekali-kali tidak tahu menta'birkan mimpi itu." (Q.S Yusuf : 44)




4

Artinya : “ dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud[763] kepada Yusuf. dan berkata Yusuf: "Wahai ayahku Inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. dan Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaKu, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S Yusuf : 100)

B. Macam-macam Tafsir
Ath-Thabari menyebitkan ada 4 macam tafsir :
1. Tafsir yang diketahui oleh orang Arab dari kalamnya.
2. Tafsir yang tidak seorangpun dimaafkan atas ketidaktahuannya.
3. Tafsir yang diketahui oleh para ‘ulama.
4. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah SWT. ( Yusuf Qardawi, hal. 290)
a. Tafsir yang diketahui oleh orang Arab dari kalamnya.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang biasa mereka pakai, dari hakikat, majas, sharikh, kinayah, , dan sebaginya. Orang Arab
5
mengetahui makna Al Qur’an dengan pengetahuan mereka akan gaya redaksionalnya.
Az-Zarkasy dalam kitab Al Burhan mengomentari perkataan Ibnu Abbas dalam pembagian tafsir menjadi 4 macam. Ia berkata bahwa “ Pembagian itu benar “. Yang difahami oleh orang Arab adalah pemahamannya kembali kepada bahasa mereka, yaitu bahasa Arab dan I’rab. Tentang bahasa , seorang penafsir harus mengetahui makna-maknanya dan substansi suatu kata, sementara seorang pembaca tidak harus seperti itu. Kemudian jika yang dikandung oleh lafal-lafalnya adalah tentang kewajiban untuk beramal, yang tidak membutuhkan ilmu lebih luas, maka baginya cukup satu atau dua hadits dan diperkuat dengan satu bait syair. Sedangkan yang membutuhkan ilmu yang dalam, hal itu tidak cukup, sang penafsir harus secara luas mengkaji lafal itu dan memperbanyak dalil=dalil penguatnya dari syair.
Tentang I’rab, jika perselisihan dalam I’rab itu menjadi penghalang bagi pencapaian maknanya, maka seorang penafsir dan pembaca harus mempelajarinya, sehingga sang penafsir dapat mengetahui maknanya dan sang pembaca selamat dari salah baca. Jika tidak sulit untuk mengetahui maknanya, maka harus dipelajari oleh pembaca sehingga ia terhindar dari salah baca, sedangkan si penafsir tidak perlu mengajarkannya karena pengertian yang ia cari dapat ia temukan tanpa bantuan si penafsir.
b. Tafsir yang tidak seorangpun dimaafkan atas ketidaktahuannya.
Maksudnya adalah makna yang amat jelas sehingga langsung difahami oleh akal manusia, tanpa perlu memusatkan pikiran dan memeras otak. Dan dapat juga dikatakan yang berkenaan dengan dasar-dasar agama, sehingga tidak seorangpun dimaafkan akan ketidaktahuannya.
6
Bagian Al-Qur’an yang tidak seorangpun tidak mengetahuinya adalah pemahaman-pemahaman mendasar yang langsung dapat ditangkap dari nash-nash yang mengandung syariat hokum dan tuntunan tauhid. Setiap lafal yang memberikan pengertian suatu makna dengan jelas segera diketahui itulah keinginan Allah SWT. Bagian itu tidak perlu ditakwilkan karena setiap orang mengetahui makna tauhid dari firman Allah SWT :

Artinya : Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.
Dan Dia tidak mempunyai sekutu dalam ketuhanannya, meskipun orang itu tidak mengetahui bahwa kata ‘ Laa’ dipakai dalam bahasa Arab untuk menegaskan ( Li an Nafyi ), sementara kata ‘ Illa’ untuk mengkorfirmasikan ( Lil Itsbat). Dan pengertian kalimat ini adalah pembatasan. Setiap orang mengatahui secara langsung bahwa pengertian firman Allah SWT, Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat

Artinya : “ dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' :. (Q.S.al baqarah : 43)

7
Dan perintah-perintah sejenis adalah perintah untuk melaksanakan perintah-perintah itu, meskipun ia tidak mengetahui bahwa bentuk kata ‘if ‘al’ bermakna menguatkan, secara wajib atau sunnah. Jika bagian-bagian seperti itu, tidak ada seorangpun yang dimaafkan jika tidak mengetahui maknanya.
c. Tafsir yang diketahui oleh ‘Ulama
Adalah yang hanya diketahui oleh ‘Ulama, yang membutuhkan penyimpulan, pengkajian, dan pengetahuan akan ilmu-ilmu yang lain, sehingga ia menarik yang mutlak atas yang muqayyad, yang ‘aam dank has, dan memilih kemungkinan yang dikuatkan oleh penguat tertentu dan sebagainya.
Bagian yang diketahui oleh ulama dan kembali kepada ijtihad mereka inilah yang sering disebut dengan ‘takwil’. Yaitu menyimpulkan hokum-hukum dan menjelaskan redaksi yang general, dan mengkhususkan yang umum. Dan seluruh lafal yang mengandung kemungkinan dua pengertian atau lebih adalah bagian yang tidak boleh ditakwilkan oleh non ulama, dan mereka harus mendasarkan diri pada dalil-dalil, tidak semata-mata kepada rasio. Jika salah satu dari dua makna lebih tampak, maka harus diamalkan dengannya, kecuali jika ada dalil yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah makna yang tersembunyi. Apabila keduanya seimbang dan penggunaan pada keduanya adalah hakikat, namun berbeda dalam bahasa atau kebiasaan dan syariat, maka pengertian syariat lebih utama. Kecuali, jika ada dalil yang pengertian bahasa, seprti firman Allah SWT :



8

Artinya : ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S At-Taubah : 62)
Jika pada salah satu dari keduanya adalah kebiasaan dan yang lain kebahasaan, maka mengartikannya dengan pengertian kebiasaan lebih utama karena ia berjalan diatas bahasa. Jika antara syariat dan kebiasaan, maka syariat lebih utama karena syariat lebih mengikat. Jika keduanya sulit bertemu dan tidak mungkin disatukan dalam satu kata, seperti ‘al quru’, bagi haid dan suci, maka ia dapat berijtihad untuk menentukan mana yang dimaksud dari keduanya sesuai dengan konteks dan bukti yang dapat memperkuat, apakah yang ia duga merupakan keinginan Allah SWT untuk mengartikannya dengan salah satu diantaranya atau dengan mengambil hokum yang paling berat atau yang paling ringan. Sementara, jika keduanya tidak bertentangan maka wajib diartikan dengan keduanya menurut para ulama, dan hal itu lebih tinggi dalam kemukjizatannya dan kefasihan, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan pengertian salah satunya. ( Al Itqan : 4/189-190) Tafsir Al Burhan (2/164-168)


9
d. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
Adalah tafsir yang hanya diketahui oleh Allah SWT, misalnya, perkara-perkara yang ghaib, yang hanya diketahui oleh Allah SWT hakikat-hakikatnya, seperti alam barzah, masalah akhirat, malaikat, Arsy, dan terjadinya haria kiamat. Pengetahuan tentang itu tertutup bagi manusia. Hal itu dapat masuk ke dalam ayat-ayat mutasyabihat. Sebagaimana firman Allah SWT :

Artinya : Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.


10
Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah SWT adalah yang berhubungan dengan alam ghaib. Seperti ayat-ayat yang mengandung berita tentang terjadinya hari kiamat, tafsir tentang ruh, huruf-huruf pembuka ayat, dan seluruh ayat-ayat yang mutasyabihat dalam Al-Qur’an menurut pakarnya, tidak ada peluang untuk berijtihad dalam menafsirkannya dan jalan kea rah itu hanyalah petunjuk nash, hadits, dan ijma umat atas takwilnya. Jika tidak ada keterangan dari ketiga sumber itu maka kita segera mengetahui bahwa itu adalah bagian yang hanya Allah SWT sendiri mengetahuinya.
(Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Yusuf Qardawi, hal. 292)
C. Penafsiran Al-Qur’an ada dua macam :
1. Tafsir bil Ma’tsur
2. Tafsir bir Ra’yu
a. Tafsir bil Ma’tsur
Yang dimaksud tafsir bil ma’tsur atau tafsir riwayah adalah tafsir yang terbatas pada riwayat dari Rasulullah saw. dan dari para sahabat r.a atau murid-murid mereka dari kalangan tabi’iin, dan dapat juga dari tabiut-tabi’iin.
Ulama yang menulis model ini :


11
1. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih
2. Al Hafidz as-Sayuthi dalam tafsirnya Ad-Durarul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur
3. Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari dalam tafsirnya Jami’ al Bayan fit Ta’wil al Qur’an
4. Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir Al Qur’anul ‘Adziim
Ada beberapa kelemahan dalam tafsir bil ma’tsur diantaranya :
1. Adanya riwayat yang dhao\if, mungkar, dan maudhu dari riwayat yang didapat dari Rasul, para sahabat dan para Tabi’iin.
2. Pertentangan riwayat satu sama lain, seperti ada riwayat dari Ibnu Abbas tentang tafsir firman Allah SWT :

Artinya : “ ….., dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya….. (Q.S. An-Nur : 31)
Ia adalah celak mata dan cincin; atau wajah dan dua telapak tangan. Kemudian darinya diriwayatkan tentang satu ayat dalam surat Al Ahzab ayat 59, sebagai berikut :

Artinya : “ Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka llah Ismailebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka

12
tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. ( Q.S. Al Ahzab : 59)
Apa yang dapat menutup wajah. Diriwayatkan darinya bahwa anak Ibrahim yang akan disembelih adalah Ismail. Dan diriwayatkan pula bahwa ia adalah Ishaq.
Ini membutuhkan penelitian terhadap riwayat-riwayat itu dan menguji sanad-sanad, sesuai dengan manhaj Jarh dan Ta’dil (Metode kebenaran riwayat), sehingga dapat diketahui mana yang kuat dari yang lemah, dan mana yang diterima dari yang tertolak.
3. Diantara riwayat adalah pendapat seseorang yang tidak terjaga dari kesalahan. Oleh karena itu, kita mendapati para sahabat dan tabi’iin kadang-kadang berbeda satu sama lain. Dalam banyak kesempatan perselisihan itu adalah perselisihan keberagaman, namun pada sebagian kesempatan perselisihan itu adalah perselisihaayah, sebagn benturan. Ini menunjukkan bahwa mereka menafsirkan dengan rasio mereka.
4. Tafsir bil Ma’tsur, seperti diriwayatkan bukan tafsir metodologis yang mengkaji Al Qur’an surat persurat, dan dalam satu surat mengkaji ayat perayat, dan dalam satu ayat dikaji kalimat per kalimat. Metode seperti ini adalah cirri tafsir analisis yang dikenal dengan tafsir bir ra’yi, bahkan ia seperti komentar terhadap ayat-ayat Al Qur’an.
b. Tafsir bir Ra’yi
Yang dimaksud dengan rasio adalah antonym nash dan riwayat. Ia dinamakan dengan tafsir bid dirayah sebagai antitesis tafsir bir riwayah. Makna ar ra’yu adalah ijtihad dan olah fakir serta penelitian dalam memahami al Qur’an dalam batas pengetahuan tentang bahasa
13
Arab, dan dalam kerangka kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir al Qur’en , dri perangkat syarat keilmuan dan akhlak.
Sebagian ulama mensyaratkan bagi penafsir sejumlah yang harus dikuasai, diantaranya bahasa Arab : Nahwu, sharaf, isytiqaq, lughah, balaghah, qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh, mansukh, hadits-hadits penjelas ayat-ayat al Qur’an, fiqh dan ilmu pemberian dari Allah SWT.
Juga dipersyaratkan kebersihan hati dari penyakit kibr, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia dan senang melakukan dosa. Ini semua akan menghalangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT.
Allah berfirman :

Artinya : aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. ( Q.S Al A’raf : 146 )

14
Yang dimaksud dengan ayat-ayat di sini Ialah: ayat-ayat Taurat, tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.
Hadits-hadits dan Atsar yang memperingatkan tentang tafsir bir Ra’yi, sebagaimana yang telah ditulis oleh beberapa ‘ulama tentang kapan dibolehkannya dan sejauhmana tafsir bir ro’yi dibolehkan seperti yang telah ditulis oleh Imam Abu Ja’far ath Thabari didalam muqaddimahnya pada tafsir Jami’ Bayan al Qur’an dan Imam Abu Muhammad Ibnu Qutaibah dalam kitab Takwil Musykilul Qur’an, serta Imam al Baihaqi dalam kitab al Madhkal, juga Imam al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin dan Adab Tilawatil Qur’an.
Dari Ibnu Abbas dalam Hadits Marfu menyebutkan :

ومن قال فى القران براءيه فليتبواء مقعده من النار
Barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang al Qur’an dengan pendapatnya sendiri, kemudian ia tepat, ia tetap telah membuat kesalahan.
Telah menceriterakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, telah menceriterakan kepada kami Bisyr bin Assari, telah menceriterakan kepada kami Sufyan dari Abdul A’la dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas Radhiyallaau ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallama bersabda : Barangsiapa berkata tentang al Qur’an tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menmpati tempatnya di neraka :. Abu Isa berkata : Hadis ini hasan Shahih ( H.R. Tirmidzi 2874)
Perawi pada Sanad adalah Abdullah bin Abbas bin ‘Abdul Muthalib bin Hasyim, Sa’id bin Jubair bin Hasyim, Abdul A’laa bin ‘Amir, Sufyan bin Sa’id bin Masruq, Bisyr bin As- Sary bin Al Harits bin ‘Umair dan Mahmud bin Ghailan.
15

حدثنا محمود بن غيلان حدثنا بشربن السري حدثنا سفيان عن عبد الاعلى عن سعيد بن جبير عن بن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال في القران بغير علم فليتبواء مقعده من النار قال ابو عيسى هدا حديث حسن صحيح
Telah menceriterakan kepada kami Abdul Walid berkata, telah menceriterakan kepada kami Syu’bah dari Jami’ bin Syaddad dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Az-Zubair dari Bapaknya berkata, “ Aku berkata kepada Az-Zubair, Aku belum pernah mendengar kamu membicarakan sesuatu dari Rasulullah shallaahu ‘alaihi wasallama sebagaimana orang-orang lain membicarakannya “ Az-Zubair menjawab, Aku tidak pernah berpisah dengan beliau, aku mendengar beliau mengatakan : “ Barangsiapa berdusta terhadapku maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya” dineraka.
حدثنا ابو الوليد قال حدثنا شعبه عن جامع بن شداد عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن ابيه قال قلت للزبيراني لااسمعك تحدث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم كما يحدث فلان وفلان قال اما اني لم افارقه ولكن سمعته يقول من كد ب علي فليتبواء مقعده من النار
Telah menceriterakan kepada kami Abu Ma’mar berkata, telah menceriterakan kepada kami ‘Abdul Warits dari ‘Abdul ‘Aziz berkata, Anas berkata : Beliau melarangku untuk banyak menceriterakan hadits kepada kalian karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallama bersabda : “ Barangsiapa sengaja berdusta terhadapku (atas namaku), maka hendaklah ia persiapkan tempat “, duduknya di neraka.
حدثنا ابو معمر قال حدثنا عبد الواث عن عبد العزيز قال انس انه ليمنعني ان احدثكم حديثا كثيرا ان النبي صلى الله عليه وسلم قال من تعمد علي كدبا فليتبواء مقعده من النار
Telah menceriterakan kepada kami Ishaq bin Isa telah menceriterakan kepada kami Abdurrahman bin Abu Zinad, dan telah menceriterakan kepada kami Suraij dan Husain keduanya berkata : Telah
16
menceriterakan kepada kami Ibnu Abu Az Zinad dari Bapaknya dari ‘Amir bin Sa’ad, Husain Abi Waqqas berkata; aku mendengar Utsman bin Affan berkata : Tidak ada yang menghalangiku untuk menceriterakan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallama melainkan karena aku bukan orang yang paling hafal dari para Sahabatnya, akan tetapi aku bersaksi bahwa aku mendengar beliau bersabda : Barangsiapa berkata atas namaku padahal aku tidak mengatakannya maka siapkanlah tempat duduknya di neraka. Dan Husain berkata : Orang yang paling hafal dri para sahabatnya. ( Musnad Ahmad Nomor 439)

حدثنا اسحاق بن عيسى حدثنا عبد الرحمن بن ابي الزناد وسريج وحسين قالا حدثنا ابن الزناد عن ابيه عامر بن سعد قال حسين ابن ابي وقاص قال سمعت عثمان بن عفان رضي الله عنه يقول مايمنعني ان احدث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ان لا اكون او عى اصحابه عنه ولكني اشهد لسمعته يقول من قال علي مالم اقل فليتبواء مقعجه من النار وقال حسين اوعى صحابته عنه
D. Metode Menafsirkan Al Qur’an
1. Menggabungkan antara Riwayat dan Dirayah
2. Tafsir Al-Qur’an dengan al Qur’an
3. Tafsir al Qur’an dengan Sunnah yang shahih
4. Mempergunakan Tafsir Sahabat dan Tabi’iin
5. Mengambil kemutlakan bahasa
6. Memperhatikan konteks kalimat
7. Memperhatikan asbabun nuzul
8. Menjadikan al Qur’an sebagai Rujukan Utama dalam mencari Pemahaman.

17
a. Menggabungkan antara Riwayat dan Dirayat
Prinsip pertama manhaj ini adalah menggabungkan antara riwayat dan dirayat. Jika ada manhaj tafsir yang berfokus pada riwayat dan atsar, dan ada yang berfokus pada dirayah dan perenungan pemikiran, maka manhaj yang paling tepat adalah mensintesakan antara riwayat dan dirayah, menyatukan antara manqul yang shahih dan hasil pemikiran yang jelas, dan meracik antara warisan salaf dan pengetahuan kaum khalaf.
‘Ulama yang menggunakan manhaj ini adalah :
1) Syekh Ibnu Jarir Ath=Thabari dalam ‘ mausu’ah ‘ tafsirnya bernama Jami’ul Bayan fit Tafsirul Qur’an.
2) Al Hafidz Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir Al Qur’anul ‘Adziim.
3) Imam Al Qurthubi yang menggabungkan antara rasio dengan ‘ma’tsur’ dalam kitabnya al Jami’ li Ahkam al Qur’an.
4) Imam Muhammad bin Ali Asy Syaukani ( w. 1250 H ) dalam kitabnya Fathul Qadir al Jami’ baina Fannai ar Riwayah wad Dirayah fit Tafsir.
Imam Muhammad bin Ali Asy Syaukani mengatakan bahwa mayoritas mufasir terbagi menjadi dua kelompok :
a) Kelompok pertama yang hanya memfokuskan pada riwayat.
b) Kelompok kedua yang memusatkan perhatiannya dalam menafsirkan al Qur’an pada pengertian yang diberikan oleh bahasa Arab dan ilmu-ilmu teknis lainnya.
Jika ada penafsiran yang shahih dari Rasulullah saw. dan jelas, maka harus mengikutinya, kemudian mengedepankannya dari yang lain, namun tafsir yang shahih dari Rasulullah saw. hanya tafsir terhadap beberapa
18
ayat yang sedikit, dibandingkan seluruh al Qur’an. Tentang hal ini tidak ada ulama yang mempertentangkannya.
Adapun penafsiran dari Sahabat r.a. yan g shahih yakni tafsir itu dari lafal-lafal yang telah diubah pengertiannya oleh syariat kepada makna yang berbeda dengan makna bahasa dari satu segi, maka ia dikedepankan dari yang lain.
Jika ia adalah dari lafal-lafal yang tidak diubah pengertiannya oleh syariat, maka ia berkedudukan sebagai pendapat salah seorang ahli bahasa Arab yang dipercayai kearabannya. Dan jika ia menyalahi pengertian yang masyhur dan jelas maka tidak ada hujah bagi kita untuk mengikuti tafsirnya yang semata diungkapkan sesuai dengan pengertian bahasa Arab, dan tafsir orang-orang setelahnya dari tabi’iin, tabiut tabi’iin dan seluruh imam lebih utama darinya.
Tafsir yang menggunakan bahasa seperti ma’ani dan bayan tidak dilarang, sebagaimana tafsir yang hanya mengandalkan rasio yang dilarang.
Sa’id bin Manshru dalam Sunannya, Ibnu Mundzir, dan al Baihaqi dalam kitab Ar Ru’ya meriwayatkan dari Sufyalan. Ia berkata bahwa dalam penafsiran al Qur’an tidak ada perselisihan pendapat, namun al Qur’an adalah ‘ kalam jami ‘ (beberapa kemungkinan pengertian) yang dapat bermakna ini dan itu. ( Berinteraksi dengan al Qur’an, Yusuf Qardawi, hal. 314)
Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya dan Abu Nu’aim dalam al Hilyah meriwayatkan dari Qallabah. Ia berkata bahwa Abu Darda berkata “ Engkau tidak mencapai derajat fiqih yang sebenarnya hingga engkau dapat melihat beberapa kemungkinan pengertian dari redaksional al Qur’an.
19
b. Tafsir Al Qur’an dengan al Qur’an
Prinsip kedua manhaj ini adalah menafsirkan al Qur’an dengan al Qur’an, karena al Qur’an satu bagian darinya saling membenarkan bagian lainnya, dan satu bagian menafsirkan bagian lainnya.
Allah SWT berfirman sebagai berikut :

Artinya : “ Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (Q.S An-Nisa : 82)
Apa yang diungkapkan secara mujmal ‘global’ pada satu tempat diperinci di tempat lain, apa yang tampak samar pada satu tempat dijelaskan di tempat lain, apa yang diungkapkan secara mutlak pada satu tempat dipersempit pada tempat lain, dan apa yang diungkapkan secara umum pada satu redaksi yang dikhususkan pada redaksi yang lain. Oleh karena ayat-ayat dan nash-nash harus dikonfirmasikan satu sama lain, sehingga pemahaman menjadi sempurna, dan dapat ditangkap pemahaman yang dimaksud dari nash itu.
Yang pertama melakukannya dan mengajarkannya kepada kita adalah Rasulullah saw. saat seorang sahabat membaca firman Allah dalam surat al an-aam sebagai berikut :

Artinya : “ orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat

20
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S Al An-Aam : 82)
Para sahabat merasa khawatir dan gelisah serta takut terhadap diri mereka, karena zahir ayat itu menjelaskan bahwa tidak ada keimanan dan tidak ada hidayah bagi orang yang keimanannya bercampur dengan suatu kezaliman atau dosa, dan itu mencakup semua kemaksiyatan, meskipun kecil. Oleh karena itu, mereka bertanya “ Wahai Rasulullah saw. siapa dari kami yang tidak pernah berbuat zalim kepada dirinya ? Rasulullah saw. menjawab, “ Pemahamannya tidak seperti yang kalian duga itu, namun maksudnya (kezaliman) itu adalah kemusyrikan. Apakah kalian tidak membaca perkataan hamba yang shaleh. Sebagaimana Allah berfirman :


Artinya : “ dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q/S Luqman : 13)
Sebagaimana Nabi saw. mengingkari dengan sangat terhadap sebagian sahabat yang bertengkar tentang qadar, dengan mengambil satu ayat dan mempertentangkannya dengan ayat lain. Mengetahui hal itu, Rasulullah saw. menegur mereka dengan marah. Kemudian Beliau bersabda :
Artinya : “ Apakah kalian diperintahkan untuk melakukan hal ini, ataukah kalian diciptakan untuk ini ! Kalian mengkonfrontasikan satu bagian al Qur’an dengan bagian lainnya, sementara Allah menurunkan
21
Kitab-Nya untuk saling membenarkan satu sama lain “. (H.R Bukhori dalam Af-aal Ibad, Ahmad dalam al Musnad dan Ibnu Majah dalam Sunanya, dari hadits Abdullah bin Amru).
Ibnu Katsir termasuk yang mengikuti manhaj ini yakni menafsirkan al Qur’an dengan al Qur’an. Dalam menafsirkan satu ayat, ia menyebut ayat lain yang sama dengannya, atu menguatkannya, atau menjelaskannya; atau mempersempit pengertiannya, atau mengkhususkannya.
Dalam surat al Fatihah

Artinya : “ segala puji[ bagi Allah, Tuhan semesta alam “. (Q.S Al Fatihah : 2)
Disitu tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan Rububiyah itu, namun hal itu dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut :

Artinya : “ sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi,
yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),
dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk “. ( Q.S Al A’laa : 1-3 )
Disini tampak jelas Rububiyah-Nya pada makhluk secara sama, kemudian memberikan taqdir dan memberikan hidayah.
Demikian juga surat Al Fatihah tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘sekalian alam’, dan hal itu dijelaskan dalam surat Asy Syu’ara’ dalam dialog antara Nabi Musa a.s. dan Fir’aun. Allah berfirman sebagai berikut :
22

Artinya : “ Fir'aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?"
Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya". ( Q.S Asy Syaraa’a : 23-24)
Juga menjelaskan bahwa ‘sekalian alam’ itu mencakup langit dan bumi serta apa yang berada di dalamnya. Allah berfirman dalam surat Al Fatihah sebagai berikut :

Artinya : “ yang menguasai di hari Pembalasan “. (Q.S Al Fatihah : 4)
Kemudian tafsirannya dalam surat Al Infithar sebagai berikut :

Artinya : “ tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu?
sekali lagi, tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu?
(yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” ( Q.S Al Infithar : 17 – 19 )
Demikian juga Qiraat “ Raja hari pembalasan”, yang ditumakan penafsirannya dalam firman Allah sebagai berikut :


23
Artinya : “ (yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari Keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”. (Q.S Al Mu’min : 16)
Dalam surat al fatihah Allah SWT berfirman :

Artinya : “ (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka…”. (Q.S Al Fatihah : 7)
Disitu tidak dijelaskan siapa yang diberikan nikmat itu, dan dijelaskan dalam surat An Nisa, Allah berfirman :

Artinya : “ dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.”. (Q.S An-Nisa : 69)

c. Tafsir Al Qur’an dengan Sunnah yang Shahih
Ibnu Thaimiyah dalam Muqaddimah fi Ushulut Tafsir mengatakan bahwa “ Cara penafsiran yang paling shahih adalah Al Qur’an menafsirkan Al Qur’an. Apa yang disebut secara ijmal pada satu tempat diperinci pada tempat lain, dan apa yang disebut secara simple pada satu tempat dijelaskan pada tempat lain.
24
Jika engkau tidak menemukan itu, maka engkau mengambil Sunnah, karena ia adalah penjelas Al Qur’an. Bahkan Imam Syafe’i berkata bahwa seluruh apa yang dihukumkan oleh Rasulullah saw. adalah dari apa yang beliau dapat dari Al-Qur’an. Allah SWR berfirman sebagai berikut :

Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia Menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi. (Q.S. An Nisa : 105)
Dalam surat An Nahl Allah berfirman :

64. dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. An Nahl : 64)
25
Rasulullah saw. bersabda :

الا انى اوتيت القران ومثله معه
Ketahuilah, aku diberikan Al Qur’an, dan semisalnya bersamanya.
Hal ini maksudnya adalah Sunnah.
Sunnah diturunkan kepada Beliau dengan wahyu, sebagaimana Al Qur’an diturunkan. Namun, bedanya ia tidak dibaca dengan lafalnya, seperti Al Qur’an. Oleh karena itu, sunnah dinamakan ‘al wahyu ghairu al matluw’ wahyu yang tidak dibaca dengan lafalnya.
Imam Syafi’i beserta imam yang lainnya berdalil tentang hal itu dengan dalil yang banyak, diantaranya sabda Nabi saw. sebagai berikut :

قوله صلى الله عليه وسلم لمعاد رشي الله عنه لما بعثه الى اليمن كيف تقضى ادا عرض لك قضاء ؟ قال اقضي بكتاب الله قال فان لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله فان لم تجد في سنة رسوله ولا في كتاب الله ؟ قال اجتهد راءيي ولا الود فضرب رسول الله صدره وقال الحمد لله الدى وفق رسول الله لما يرضاه . رواه احمد وابو داود والترمدى
Sabda Nabi saw. ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabbal r.a ke Yaman, maka Nabi saw. bertanya kepadanya : dengan apa kamu menetapkan perkara yang datang kepadamu ?. Mu’adz menjawab : Saya
Memberi keputusan dengan kitab Allah. Nabi bertanya : Kalau kamu tidak mendapatkan pada kitab Allah ? Mu’adz menjawab : Dengan Sunnah Rasulullah. Nabi bertanya lagi : Kalau pada kitab dan sunnah Rasul pun tidak kau dapati ? Mu’adz menjawab : Saya berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak akan kembali (berpaling). Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dadanya (bergirang hati) sambil bersabda : Alhamdulillah Allah telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sesuai dengan keridhoan Rasulullah . (H.R Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi).
26
d. Mempergunakan Tafsir Sahabat dan Tabi’in
Ketika para sahabat berada dan bersama Rasulullah saw., mereka menjadi murid-muridnya. Itu berarti para Sahabat mendapatkan ilmu dan mendapat pemahaman serta memperoleh pengajaran dari materi-materi yang diberikannya, sehingga terisi akal dan hatinya.
Jika ada riwayat dari Sahabat yang shahih tentang tafsir tertentu, maka hal itu menjadi kekuatan pertama dimana para sahabat yang ikut menyaksikan jalannya turun wahyu yang diberikan kepada Rsulullah saw.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa jika engkau tidak menemukan tafsir suatu ayat dalam al Qur’an dan tidak juga dalam Sunnah, maka engkau harus mencarinya dalam perkataan para Sahabat. Karena mereka adalah orang yang paling mengetahui hal itu, disebabkan mereka melihat ‘qarain’ dan situasi yang terjadi saat al Qur’an itu turun yang hanya mereka mengetahuinya, juga karena mereka mempunyai pemahaman yang sempurna dan ilmu yang benar, terutama para ulama dan tokoh mereka, seperti imam yang empat al Khulafaur Rasyidin, imam yang mendapatkan hidayah, dan Abdullah bin Mas’ud, yang berkata, “ Demi Allah yang tidak ada tuhan selain-Nya; tidak ada suatu ayat al Qur’an yang turun, kecuali aku mengetahui dimana diturunkan, dan tentang apa ia diturunkan”. (Berinteraksi dengan Al Qur’an, Yusuf Qardawi, 331)
Rasulullah saw. berdo’a untuk Abdullah Ibnu Abbas sebagai berikut :


Artinya : Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam urusan agama, dan ajarkanlah dia takwil (ilmu tafsir).
Ia bila bila mempelajari al Qur’an tidak melewati sepuluh ayat, sampai mengetahui makna-maknanya dan mengamalkan isinya.
Ibnu Mas’ud berkata bahwa penafsir al Qur’an yang paling ulung adalah Ibnu Abbas. Menurut riwayat yang shahih, Ibnu Mas’ud wafat pada tahun 33 H, dan Ibnu Abbas masih hidup selama 36 tahun lagi setelahnya, maka betapa banyak ilmu yang ia dapatkan lagi setelah Ibnu Mas’ud itu.
Ibnu Taimiyah berkata, “ Jika engkau tidak mendapat tafsir suatu ayat al Qur’an dalam al Qur’an dan Sunnah, dan tidak engkau dapat juga dari sahabat, maka banyak imam yang kembali kepada pendapat para Tabi’iin. Seperti Mujahid bin Jabbar.


شروط المفسر وهي خمسة عشر

1. ان يكوم عالما بالحديث الشريف رواية و دراية و معلوم ان احاديث الرسول صلوات الله عليه

هي المبينة لتفسير المجمل والمبهم وهي التي بستعين بها المفسر على توضيح مايشكل عليه

2. ان يكون عالما باللغة لانه بها يمكن شرح مفردات الالفاظ ومدلولاتها بحسب الوضع ثم لا بدله من التوسع والفجر

في لان اليسير لا يكفى اد ربما كان الفظ مشتركا والمفسر يلزمه معرفة المعنيين اد يخفى عليه الاخر وقد

يكون المراد به

3. ان يكون عالما بالحو لان معنى يتغير ويختلف باختلاف الاعراب فلا بد من اعتباره

4. ان يكون عالما بالصرف لانه به الابنية والصيغ فان من فاته علمه فاته المعظم

من العلوم فان وجد مثلا كلمة مبهة

5. الاشتقاق لان الاسم ادا كان اختلاف باختلافهما كالمسيح مثلا هل هو من السياحة او من المسح

6.7.8. ان يكون عالما بالبلاغة و اقسامها الثلاثة المعانى والبيان والبديع

فالعلم المعانى يعرف به خواص تركيب الكلام من جهة افادتها المعنى

والعلم البيان يعرف به خواص التركيب من حيث اختلافها بحسب وضوح الدلالة وخفافها

والعلم البديع يعرف به وجوه تحسين الكلام فهده العلوم الثلاثة هي من اعظم اركان شروط

المفسر لانه لابد له من مراعاة ما يقتضيه الاعجاز ودلك لا يدرك الابها

9. ان يكون عالما بالقران لانه لا يعرف كيفية النطق بالقران الا بها وبالقرات

يترجع بعض الوجوه المحتلمه على بعض

10. ان يكون عالما باصول الدين وهو علم التوحيد وبه يستطيع المفسر ان يستدل على ما

يجب في حق الله تعالى وما يجوز وما يستحيل وان ينظر فى الايات المتعلقة بالنبوات

والمعاد وما الى غير دلك نظرة صائبة ولولا دلك لوفع المفسر فيما لا يحمد عقباه

11. ان يكون عالما باصول الفقه اد به يعرف كيف استنبط الاحكام الشرعية من الايات ويستدل عليها

ويعرف الاجمال والتبيين والعموم والخصوص والمطلق والمقيد ودلالة النص واشارته

ودلالة الامر والنهى وغيره من كل ما يرجع الى هد العلم

12. ان يكون عالما باسباب النزل اد ان معرفة سبب النزول يعين على فهم المراد

من الاياته بحسب ما انزل فيه

13. ان يكون عالما بالقصص لانه بمعرفته مفصلا يتوضح له ما اجمل منها فى القران الكريم

14. ان يكون عالما بالناسخ والنسوخ لانه به بعلم المحكم من غيره ومن فقد هده

الناحية ربما افتى بحكم منسوخ فيقع فى الضلال واضلال والعياد بالله سبحانه

15. ان يكون عاملا بما يعلم فيتولد له من دلك علم الموهبة وهداالعلم بوثه

الله تعالى لمن عمل بما علم واليه الاشارة بقوله سبحانه ( واتقوا الله ويعلمكم الله . سورة البقرة 282

وقد روى ابو نعيم من عمل بما علم ورثه الله علم ما لا يعلم

قال الحافظ السيوكى بعد ان عد الموهبة وتقول هدا شئ ليس في قدرة الانسان

وليس الامر كما ظننت من اشكال والطريق في تحصيله ارتكاب الاسباب الموجبة له من العمل والزهده

Tidak ada komentar:

Posting Komentar